Mencari Arah Mentari
Seorang perempuan setengah baya berbaring sendiri di ranjangnya.Wajahnya semakin pucat, rambutnya yang memutih berminyak dan berhias ketombe besar-besar tubuhnya menggigil hebat, bibirnya membiru.
“Ki..., Cepat pulang sayang ibu sakit” rintihnya lemah, tangannya menggapai meja kecil di sudut kamar, tapi gelas diletakan di sisi seberang meja. Perempuan itu berusaha keras mengambil gelasnya. Hingga tak sadar tubuhnya sudah ada di bibir ranjang, Gubrak! sejurus kemudian dia mengerang kesakitan badannya yang renta dan lemah membentur lantai. Setelah itu dia tak tahu lagi apa yang terjadi.
Lorong rumah sakit terasa gelap dan sepi, Kinar duduk seorang diri di bangku panjang bar cat Abu. Matanya yang agak sipit menatap kosong ke depan membayangkan hal yang mengerikan, seandainya hal yang sangat buruk terjadi ibunya tertidur dan lupa menghirup udara pagi.
Betapa mengerikan membayangkan dia kehilangan ibunya. Tangan siapa yang harus di genggam saat dia ragu dan membutuhkan kekuatan menghadapi kehidupan “Tidak, kumohon Tuhan jangan ambil Ibu sekarang” jeritnya tanpa sadar,air mata mengalir deras. Tubuhnya berguncang. Hari ini menghadapi situasi sepahit ini. Ternyata hanya Tuhan yang mampu menenangkannya. Gadis itu mulai mengatur napas menyatukan diri dengan kesunyian malam yang beranjak pagi. Terhayut dalam doa-doa panjang mencoba merayu Sang Maha untuk kesembuhan ibunya. Tanpa sadar dia tertidur duduk bersandar tembok dingin rumah sakit
Dia berjalan sendiri menyusururi jalan kecil terjal berbatu, di kiri dan kanan ditumbuhi pepohonan yang tidak terlalu tinggi. Batu yang terhampar juga ditumbuhi lumut tanda jarang dilalui. Matahari sepertinya malas membagi sinarnya ke sini.
“Bu...,Ibu..., Ki takut Ibu...,”matanya melihat sekeliling, dia menggidik ngeri. Lalu menunduk dan berjalan cepat sembari mengepalkan tangan mengumpulkan kekuatan dan keberanian. Tekatnya bulat dia harus menemukan arah timur. mencari sinar mentari dari sanalah dia bisa menemukan arah pulang.
Langkahnya diteruskan meski lelah. Kakinya terasa patah entah kenapa, dia mematahkan batang pohon untuk memapah dan menguatkan tubuhnya. Sesekali terhenti mengambil napas panjang dan mengumpulkan sisa tenaga. Batang pohon yang dijadikan tongkat menyandung batu hingga dia kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
Tangisnya pecah putus asa mendera, sangat lelah. Tak ingin berdiri rasanya. Biarlah hari ini aku terhenti,atau jika saat ini aku mati biarlah, daripada hidup terus menanggung beban sendirian. Tapi saat matanya terpejam dia melihat senyum ibunya yang menyejukan. Diangkat kepalanya ditatap langit sejenak, berusaha bangkit meski sulit sekali. Setelah berdiri kembali tarikan napas panjang memberi aba-aba kalau dia sudah siap melangkah. Payah sekali kakinya diseret pelan, sampai akhirnya dia mampu berjalan cepat dan berlari
.
Dilihatnya matahari, “Alhamdulilah” bisiknya mengucap syukur tapi belum dia meninggalkan hutan bahunya disentuh lembut.
“Masa kritis Ibu Risma sudah lewat. Sekarang ada di ruang isolasi kamar melati.”Suster itu berkata dengan lembut.
“Kenapa saya tidak dibangunkan, Sus?”
“Dokter Maya melarang saya,tadi Mbak Kiran tertidur lelap” suster berbaju hijau muda itu menjawab ramah lalu pergi. Selepas itu Kinar bergegas mencari ibunya di ruang perawatan. Impus dan oksigen terpasang. Kinar menarik napas lega melihat senyum tersungging di bibir Ibu. Dihampirinya setengah berlari ditatapnya tanpa kata, setiap kerutan di wajah perempuan tua itu menyimpan cerita rahasia yang belum mampu tersibak seluruhnya.
Namun Kinar tak ingin bertanya, mengapa dia tak punya ayah seperti teman-temannya. Sudah menjadi keputusanya bahwa apapun yang terjadi di masa lalu. Tak akan melukai dan mengubah penilaiannya tentang Ibu. Begitu pun dengan cibiran masyarakat atas sakitnya, dia tak ingin mendengar. yang dia tahu ibu adalah perempuan yang mengajarinya tentang kekuatan yang berbalut kelembutan dan cinta kasih
.
“Maap, Ki. Ibu yang salah Ibu malas minum obat salama kamu lembur Ibu membuang obatnya di bawah ranjang.” ujar ibunya terbata, seperti anak kecil yang melakukan pengakuan dosa pada ibunya. Kinar membelalakan matanya yang sebenarnya tak bisa melotot ”Jangan marah,Ki. Ibu kan sudah minta maap, Nak” Risma mengiba sembari menggengam jemari putrinya. Kinar membuang pandangannya kesalnya tak mampu disembunyikan. Kemudian duduk lesu di kursi kecil di sisi ranjang ibunya dia diam tanpa sepatah kata.
Sepekan Risma harus menginap di rumah sakit, selama itu juga Kinar setia bersamanya meski bicaranya masih seperlunya karena rasa kesalnya belum hilang.
Apalagi jika dia ingat percakapannya dengan Dokter Maya, kesedihan menderanya semakin dalam. Dan dia memilih diam dengan ibunya. Tak ingin mengatakan apapun, Kinar takut saat dia bicara dia akan meneteskan airmata di hadapan sang Ibu. sampai detik ini seberat apapun beban yang ditanggungnya dia tak ingin ibu melihatnya menangis.
“Virus berkembang pesat sekarang organ ginjalnya bermasalah, sepertinya Ibu Risma berhenti minum obat untuk waktu yang agak lama sehingga kekebalan tubuhnya menurun dan membahayakan beberapa organ dalamnya.”
“Saya yang salah...,Pulang kerja langsung tidur. Saya melihat obat ibu sudah berkurang saya pikir ya diminum, Dok”
“ Bersabarlah, jika Ibu Risma kembali disiplin minum obat kondisinya akan membaik. Jadi lebih teliti lagi, Ibu Risma beruntung memiliki putri sepertimu, Kinar.”Ujaran Dokter Maya Membuat Kinar kembali optimis.
“Terimakasih, Dokter. Dokter sudah sangat baik pada saya dan Ibu saya”
“Kinar, Saya hanya melakukan tugas saya sebagai dokter, dulu dokter senior saya pernah berpesan di hari terakhir saya menjadi coas, bahwa obat semua penyakit sesungguhnya adalah keinginan dari diri sendiri untuk sembuh. Jadi selain saya menuliskan resep saya juga sebisa mungkin menghibur dan membangkitkansemangat dari pasien-pasien saya”
“Jika ada Nominasi dokter terbaik, saya akan menjadi pendukung utama yang merekomentasikan Dokter Maya”
“Kamu itu ada-ada saja, Kinar” balas Dokter Maya sambil tertawa lepas sebelum kemudian meninggalkan Kinar dan berbelok ke ruangan nya.
Di ranjang yang sebenarnya sempit dua orang perempuan beda generasi berbaring bersama.
“Bu, Janji ya,jangan buat Ki takut lagi.”Pinta si gadis lirih, ibunya mengerutkan kening belum dapat menebak kemana arah pembicaraan putrinya.
“Ibu tidak tahu kalau ada sesuatu yang kau takuti, Ki” balas sang ibu sembari menatap lekat wajah anak semata wayangnya.
“Ki takut, Bu. Jika suatu hari, Ki pulang kerja mendapati Ibu tak lagi bernapas. Ki tidak berani hidup seorang diri tanpa Ibu”
“Kamu tidak akan sendirian jika Ibu pergi. Pejamkan matamu, selama udara masih bisa kau hirup selama itu pula, Alloh menjagamu. Akan selalu ada cinta jika kita mau menebarkannya. Akan selalu ada saudara baru, teman-teman baru yang menolongmu selama kamu membuka mata hatimu untuk melihat cahaya kebaikan dari mereka” balas ibunya sambil mencium kening putrinya lembut.”Ki Arda tahu ibu sakit?”
“Tentu, Bu. Dia datang tiga kali kerumah sakit menemani aku, tapi entah kebetulan atau gimana ibu selalu sedang tidur. Dia yang menebus obat di apotik saat persediaan di dalam habis, Bu. Sepertinya dia lebih sayang sama Ibu dari pada aku”
“Masa?”
“Iya, setiap telp yang ditanya kabar ibu, aku sedang apa dia tidak peduli, Bu”
“Ibu punya fans baru...”
“Ibu,janji Ibu akan sembuh. Ibu mau merasakan nikmatnya menggendong cucu.” Kata ibu
bersemangat, Kinar memeluk ibunya dengan sorot mata berbinar. Bahagia! Bersambung
Terima kasih sudah datang, See u dear
0 komentar:
Post a Comment
Komentarmu adalah cermin kepribadianmu.terima kasih sudah mengunjungi blog saya